Artikel

Friday, August 7, 2020

KEPEMILIKAN HARTA SEBAGAI BENTUK FITRAH KEBUTUHAN MANUSIA

Oleh : Abdul Hakim 

“Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan” pepapatah ini memiliki arti atau pesan kehidupan. Arti bahwa hidup ini membutuhkan unsur-unsur penunjang, dan pesan bahwa manusia tidak boleh tersesat dari tujuan hidupnya di dunia.

Seorang mukmin yang berhati-hati terhadap dunia dan kemewahannya, tidak lantas membuatnya harus meninggalkan usaha untuk mendapatkan segala bentuk kenikmatan dunia.[1] Karena dunia ini merupakan amanah dari Allah untuk manusia, agar manusia dapat memanfaatkan segala apa yang ada dunia dan dengannya manusia dapat melihat memahami hakikat penciptaannya.

Islam tidak bertentangan dengan fitrah manusia akan kebutuhannya terhadap harta, sehingga Islam memiliki syariat yang mengatur harta benda agar menjadi ladang kebaikan.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (Q.S. Ali Imran ayat 10)

Manusia memiliki kodrat akan kesenangan terhadap harta, sehingga manusia tidak dilarang untuk berusaha mendapatkan berbagai bentuk harta yang dikaruniakan Allah tentunya dengan cara yang baik yang dihalalkan Allah swt. Manusia memiliki kecenderungan untuk memiliki harta, harta merupakan hal yang dibutuhkan manusia baik berupa emas, perak, kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.

Selain itu Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S. Al-Hadid ayat 7)

Alam semesta ini adalah ciptaan Allah, segala yang ada di muka bumi ini sejatinya adalah milik Allah, termasuk harta benda yang ada pada genggaman manusia adalah milik Allah swt. Maka sesungguhnya harta ini adalah amanah dari Allah swt yang harus digunakan dengan baik sesuai dengan kehendak dari pemberi amanah yaitu Allah. Oleh karenanya manusia hendaknya menafkahkan hartanya sesuai dengan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah swt.

Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya di dunia. Harta dalam Islam merupakan hal yang dharuriyah, tanpa adanya harta kehidupan manusia dapat menjadi rusak. Atas dasar itu mempertahankan dan melindungi harta dari segala upaya yang dilakukan oleh orang lain denga cara yang tidak sah adalah hal yang mendasar dalam Islam.[2]

Sekalipun manusia diberikan harta sedikit atau banyak, manusia tidak boleh menggunakan harta tersebut secara semena-mena. Manusia boleh menggunakannya sesuai dengan apa yang disyariatkan. Harta yang diberikan Allah hendakanya dapat mendatangkan manfaat utnuk individu yang menerimanya dan juga tidak boleh mengesampingkan kemanfaat harta tersebut bagi masyarakat secara umum.

Hal inilah yang menjadi tanda bahwa Islam tidak mengesampingkan kebutuhan manusia kepada harta, salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap pemenuhan kebutuhan ini adalah adanya hukum-hukum muamalah seperti jual-beli, sewa-menyewa, murabahah dsb. Selain itu zakat juga merupakan ajaran Islam yang melarang manusia dari kekikiran dan pemborosan harta. Dan menjadi pengingat bahwa pada hakikatnya harta tersebut adalah milik Allah swt, dan manusia hanyalah penerima amanah mengurusi perbendaharaan harta milik Allah swt.

Penggunaan harta hendaknya dilakukan sebagai bentuk pengabdian diri dan pendekatan diri kepada Allah swt, karena sejatinya apa yang ada di dunia ini akan dipertanggungjawabkan kepada Allah swt, dengan harta inilah manusia seharusnya dapat semakin menigkatkan ibadahnya kepada Allah bukan sebaliknya mejadikannya lalai dari kewajibannya kepada Allah swt.



[1] Ahzami Samiun Jazuli. Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an. Gema Insani, Jakarta,2006. Hal-218.

[2] Harun,M.H. Fiqh Muamalah. Muhammadiyah University Press. Surakarta,2017. Hal-13.

No comments:

Post a Comment